Saya ingat beberapa waktu lalu, saya menanyakan sebuah alamat pada seorang pemulung.Dia hanya melirik ke arah saya dan menjawab tidak tahu tanpa menghentikan kesibukannya mencari barang bekas di tempat sampah.
Aneh sekali, saya jadi terkesima menyaksikan perempuan itu memilah-milah sampah tanpa mempedulikan lalu lalang kendaraan, tanpa mempedulikan orang yang mengajak bicara, dan tidak mempedulikan bau sampah yang sangat menyengat.
Setelah hampir seperempat jam saya mengamatinya, akhirnya dia menoleh pada saya dan bertanya, "Apalagi yang kamu tunggu? Saya tidak tahu alamat tadi."
Saya balik bertanya "Ibu sudah makan?". Dia menggelengkan kepala sambil melanjutkan pekerjaannya. Setelah dia selesai merapikan barang-barang bekas yang dia kumpulkan, saya mengajak dia makan di warung seberang jalan.
Dia makan begitu lahapnya. Nikmaaaat sekali sepertinya. Padahal hanya nasi sayur tumis kangkung dan lauk tahu goreng. Sambil mengunyah dia berkata pada saya "Maaf ya tadi tidak menjawab pertanyaan mbak. Kalau saya terlambat sebentar saja, saya bisa kehilangan sampah-sampah saya. Lihat tuh, dah diangkut petugas kan." Saya menoleh ke arah tumpukan sampah tadi, benar petugas dari PU sudah mengangkut sampah-sampah itu.
Setelah selesai makan, kamipun berpisah. Saya berterima kasih pada pemulung itu karena telah mengajarkan pada saya tentang pentingnya waktu. Lima belas menit... Banyak orang mengabaikan lima belas menit. Tapi bagi pemulung itu, lima belas menit adalah kehidupannya dalam sehari.
Bagi saya sebagai pendidik, lima belas menit adalah pembahasan satu soal Matematika. Bagi siswa lima belas menit adalah ilmu.
Lepas dari itu, lima belas menit bagi saya adalah penanaman disiplin. Karakter utama dalam meraih keberhasilan.
Jangankan lima belas menit, satu menit atau satu detik saja, sangat berarti bagi pasien di ruang operasi. Bersama tulisan saya ini, saya mengajak teman-teman semua untuk mulai menghargai waktu. Meskipun itu hanya LIMA BELAS MENIT.